![]() |
Pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung |
K
angjeng Kyai Tunggul Wulung adalah panji Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Panji ini dijadikan pusaka suci sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I dan disimpan di
dalam ruang pusaka keraton Yogyakarta.
Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dikeramatkan dan hanya dikeluarkan dari keraton untuk dikirab saat terjadi pagebluk (wabah penyakit).
***
Sejarah Kirab Puska Kanjeng Kyai Tunggul Wulung
Dalam catatan sejarah Pusaka Kanjeng Kyai Tunggul
Wulung dikirab keliling Yogyakarta pada era Sri Sultan Hamengku Buwana
VII tahun 1918 saat dunia dijangkiti wabah penyakit flu Spanyol yang
merenggut jutaan jiwa di dunia, serta wabah pes tahun 1946 pada masa Sri
Sultan HB IX .
Sejarawan Ricklefs juga mencatat bahwa Kyai Tunggul Wulung juga pernah mempunyai andil besar saat wabah menyerang tahun 1892 dan 1876.
Setelah wabah flu Spanyol juga ada catatan Kanjeng Kyai Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta. Persisnya pada 22 Januari 1932 semasa pemerintahan Hamengku Buwana VIII. Ketika itu, Yogya sedang dilanda wabah penyakit diare yang disertai muntah-muntah (muntaber). Raja waktu itu juga memutuskan mengarak Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.
Suasana wabah pes yang melanda Yogyakarta pada 1946 juga digambarkan begitu ganasnya sehingga muncul perumpamaan 'esuk lara, sore mati, sore lara, esuk mati'. Begitu mencekamnya suasana wabah pes waktu itu, sampai-sampai diberitakan tikus pun bisa menularkan penyakit mematikan tersebut.
Wabah pes yang mencekam masyarakat Ngayogyakarta itu mendorong Sri Sultan Hamengku Buwana IX waktu itu memerintahkan pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta.
***
Dalam versi lain, menurut Panglima Keprajuritan Keraton Yogyakarta GBPH Yudhaningrat bendera dari kiswah itu didapatkan dari peninggalan kerajaan Demak yang diberikan kekhalifahan Turki kepada Raden Fatah penguasa Demak sebagai bukti adanya hubungan pada abad ke-14.
Di kain itu tertulis beberapa tulisan seperti “Ya Allah”, Basmalah, dan Surat Al Kautsar. Disebut ‘tunggul’ karena dia menjadi panji yang diarak tinggi untuk mengobarkan semangat prajurit dan menentramkan hati para kawula, dan kata ‘wulung’ merujuk pada warna hitam kebiruannya yang anggun.
Sejarawan Ricklefs juga mencatat bahwa Kyai Tunggul Wulung juga pernah mempunyai andil besar saat wabah menyerang tahun 1892 dan 1876.
Setelah wabah flu Spanyol juga ada catatan Kanjeng Kyai Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta. Persisnya pada 22 Januari 1932 semasa pemerintahan Hamengku Buwana VIII. Ketika itu, Yogya sedang dilanda wabah penyakit diare yang disertai muntah-muntah (muntaber). Raja waktu itu juga memutuskan mengarak Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.
Suasana wabah pes yang melanda Yogyakarta pada 1946 juga digambarkan begitu ganasnya sehingga muncul perumpamaan 'esuk lara, sore mati, sore lara, esuk mati'. Begitu mencekamnya suasana wabah pes waktu itu, sampai-sampai diberitakan tikus pun bisa menularkan penyakit mematikan tersebut.
Wabah pes yang mencekam masyarakat Ngayogyakarta itu mendorong Sri Sultan Hamengku Buwana IX waktu itu memerintahkan pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung diarak keliling Yogyakarta.
Tidak dengan ingar-bingar tentunya. Berangkat bakda maghrib dari keraton keliling kota, di setiap perempatan yang
dilewatinya, pengiring pusaka melantunkan azan. Para pembawanya biasanya
adalah Abdi Dalem Suranata Kaji Selusin.
***
Selembar Kiswah Ka'bah Hadiah Syarif Makkah
Pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung sebenarnya merupakan selembar potongan kain ka’bah (kiswah) yang dihadiahkan oleh Syarif Makkah Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi di bawah kuasa Sultan Murad IV dari Ottoman Turki, bersamaan dengan pemberian tarbusy ‘Utsmani yang jadi kuluk Sultan, Piagam Pengangkatan dan gelar "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram" untuk Susuhunan Agung Hanyakrakusuma.Dalam versi lain, menurut Panglima Keprajuritan Keraton Yogyakarta GBPH Yudhaningrat bendera dari kiswah itu didapatkan dari peninggalan kerajaan Demak yang diberikan kekhalifahan Turki kepada Raden Fatah penguasa Demak sebagai bukti adanya hubungan pada abad ke-14.
Di kain itu tertulis beberapa tulisan seperti “Ya Allah”, Basmalah, dan Surat Al Kautsar. Disebut ‘tunggul’ karena dia menjadi panji yang diarak tinggi untuk mengobarkan semangat prajurit dan menentramkan hati para kawula, dan kata ‘wulung’ merujuk pada warna hitam kebiruannya yang anggun.
***
Apakah Sri Sultan Hamengkubuwana akan mengeluarkan Pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung di masa krisis pandemi COVID-19 ini?
Terlepas dari unsur mistik supranatural yang dipercaya oleh masyarakat Jawa, hikmah yang dapat kita ambil dari dikirabnya Pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung adalah agar kita "padha eling lan waspada. Eling marang Kang Gawe Agesang
kanthi “lampah” ratri, zikir wengi, nyuwun pangaksami lan pangayomane
Gusti."
Kita juga diingatkan bahwa gelombang musibah global ini menyadarkan kita semua bahwa kuasa manusia tidak ada yang digdaya. Semuanya terasa kecil dan nisbi.
Hadapi pageblug ini "diadhepi kanthi sabar-tawakal, tulus-ikhlas, pasrah lahir-batin, lan kairing ikhtiyar kang tanpa kendhat.."
Hanya dengan bersandar kepada Gusti Allah SWT hati akan tenang. Hati yang tenang meningkatkan kepercayaan diri, optimisme dan meningkatkan meningkatkan kekebalan tubuh kita.
Hadapi pageblug ini "diadhepi kanthi sabar-tawakal, tulus-ikhlas, pasrah lahir-batin, lan kairing ikhtiyar kang tanpa kendhat.."
Hanya dengan bersandar kepada Gusti Allah SWT hati akan tenang. Hati yang tenang meningkatkan kepercayaan diri, optimisme dan meningkatkan meningkatkan kekebalan tubuh kita.
Allahuakbar... Yā Allah...
Tertarik, begitu membaca judulnya, saya paham sekarang, jadi seperti ini yaa ceritanya, thanks Bang
BalasHapus