Neurodegeneratif: Apa yang Perlu Diketahui oleh Fisioterapis?

Penyakit neurodegeneratif adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan dan kematian sel saraf di sistem saraf pusat (SSP). Penyakit neurodegeneratif dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, genetik, dan cedera otak. Penyakit ini sering dikaitkan dengan penumpukan dan penyebaran protein abnormal di SSP, seperti amiloid beta dan tau pada penyakit Alzheimer (AD), alfa-sinuklein pada penyakit Parkinson (PD), dan huntingtin pada penyakit Huntington (HD).
Penyakit neurodegeneratif dapat menyebabkan gangguan fungsi motorik, kognitif, emosional, dan perilaku yang memerlukan pelayanan fisioterapi yang komprehensif dan holistik. Fisioterapis berperan penting dalam membantu pasien dengan penyakit neurodegeneratif untuk meningkatkan kualitas hidup mereka melalui intervensi yang bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan mobilitas, keseimbangan, koordinasi, kekuatan otot, fleksibilitas, fungsi kardiorespiratori, fungsi kognitif, dan kesejahteraan psikososial.
Untuk memberikan intervensi yang lebih tepat dan efektif untuk pasien dengan penyakit neurodegeneratif, fisioterapis perlu memahami mekanisme dan dampak sistem imun pada penyakit neurodegeneratif. Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari sel-sel dan molekul yang dapat mengenali dan mengeliminasi patogen atau zat asing yang masuk ke tubuh. Sistem imun juga berperan dalam proses perbaikan jaringan yang rusak akibat cedera atau penyakit.
Bagaimana Sistem Imun Berinteraksi dengan SSP dalam Kondisi Neurodegeneratif?
Sistem imun terdiri dari dua cabang utama: imun bawaan dan imun adaptif. Imun bawaan adalah respons imun yang cepat dan tidak spesifik terhadap patogen atau zat asing. Imun bawaan melibatkan sel-sel fagosit, seperti mikroglia dan makrofag perivaskular, yang dapat menelan dan mencerna patogen atau zat asing. Imun bawaan juga melibatkan molekul-molekul seperti sitokin, kemokin, komplemen, dan reseptor pengenalan pola (PRR), yang dapat mengirim sinyal bahaya atau inflamasi ke sel-sel lain.
Imun adaptif adalah respons imun yang lambat dan spesifik terhadap patogen atau zat asing. Imun adaptif melibatkan sel-sel limfosit, seperti sel T dan sel B, yang dapat mengenali antigen spesifik pada permukaan patogen atau zat asing. Sel T dapat dibagi menjadi beberapa subtipe, seperti sel T regulator (Treg), sel T helper 1 (Th1), sel T helper 2 (Th2), sel T helper 17 (Th17), dan sel T sitotoksik (Tc). Sel B dapat memproduksi antibodi yang dapat mengikat antigen spesifik dan membentuk kompleks imun.
Sistem imun berinteraksi dengan SSP melalui beberapa mekanisme. Pertama, sistem imun dapat masuk ke SSP melalui penghalang darah-otak (BDB) atau penghalang darah-likuor (BDL). BDB adalah lapisan sel endotelial yang mengelilingi pembuluh darah otak dan mencegah masuknya zat-zat tertentu dari darah ke otak. BDL adalah lapisan sel epitelial yang mengelilingi pembuluh darah plexus choroideus dan mencegah masuknya zat-zat tertentu dari darah ke likuor serebrospinalis (LCS). BDB dan BDL dapat menjadi rusak atau bocor akibat inflamasi atau cedera otak, sehingga memungkinkan sel-sel imun adaptif dan molekul-molekul imun untuk masuk ke SSP. Kedua, sistem imun dapat berkomunikasi dengan SSP melalui saraf vagus atau saraf simpatis. Saraf vagus adalah saraf kranial yang menghubungkan SSP dengan organ-organ visceral, seperti jantung, paru-paru, dan usus. Saraf simpatis adalah bagian dari sistem saraf otonom yang mengatur respons tubuh terhadap stres atau bahaya. Saraf vagus dan saraf simpatis dapat mengirim sinyal dari SSP ke sistem imun atau sebaliknya, sehingga mempengaruhi respons imun. Ketiga, sistem imun dapat berkomunikasi dengan SSP melalui aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Aksis HPA adalah sistem hormon yang mengatur respons tubuh terhadap stres atau bahaya. Aksis HPA dapat menghasilkan hormon kortisol yang dapat menekan respons imun atau meningkatkan respons imun tergantung pada dosis dan durasi.
Sistem imun dapat berperan ganda dalam penyakit neurodegeneratif: di satu sisi, sistem imun dapat membantu membersihkan protein abnormal dan meredakan stres oksidatif; di sisi lain, sistem imun dapat memicu inflamasi kronis dan sitokin pro-inflamasi yang merugikan sel saraf yang masih sehat. Peran sistem imun dalam penyakit neurodegeneratif dapat bervariasi tergantung pada jenis sel imun, subtipe sel imun, aktivasi sel imun, lokalisasi sel imun, stadium penyakit, dan faktor-faktor lainnya.
Bagaimana Cedera Otak Dapat Menjadi Faktor Risiko atau Pemicu untuk Penyakit Neurodegeneratif?
Cedera otak adalah salah satu faktor risiko atau pemicu untuk penyakit neurodegeneratif. Cedera otak dapat menyebabkan kerusakan mekanis, iskemia, edema, perdarahan, nekrosis, dan apoptosis pada sel saraf. Cedera otak juga dapat mengaktifkan sel-sel imun bawaan dan adaptif yang berusaha memperbaiki kerusakan jaringan. Namun, jika proses perbaikan tidak berlangsung dengan baik atau tidak terselesaikan dengan sempurna, maka dapat terjadi inflamasi persisten, gangguan BDB, penumpukan protein abnormal, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, dan kematian sel saraf yang lebih lanjut.
Cedera otak dapat menjadi faktor risiko atau pemicu untuk penyakit neurodegeneratif melalui beberapa mekanisme. Pertama, cedera otak dapat menyebabkan pelepasan protein abnormal dari sel saraf yang rusak ke lingkungan ekstraseluler. Protein abnormal ini dapat menjadi antigen bagi sel-sel imun adaptif atau PRR bagi sel-sel imun bawaan. Sel-sel imun ini kemudian dapat menghasilkan respons imun yang merugikan bagi sel saraf yang masih sehat. Kedua, cedera otak dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas BDB atau BDL. Hal ini dapat memfasilitasi masuknya sel-sel imun adaptif dan molekul-molekul imun ke SSP. Sel-sel imun adaptif dan molekul-molekul imun ini dapat berinteraksi dengan protein abnormal atau sel saraf yang rusak dan memperburuk proses inflamasi dan neurodegenerasi. Ketiga, cedera otak dapat menyebabkan perubahan epigenetik pada sel saraf yang masih sehat. Perubahan epigenetik adalah perubahan pada ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA. Perubahan epigenetik dapat mempengaruhi fungsi sel saraf dan membuatnya lebih rentan terhadap stres oksidatif atau protein abnormal.
Bagaimana Terapi Imunomodulator Dapat Menjadi Strategi Baru untuk Penyakit Neurodegeneratif?
Terapi imunomodulator adalah terapi yang bertujuan untuk mengubah respons imun yang merugikan menjadi respons imun yang menguntungkan. Terapi imunomodulator dapat berupa terapi aktif atau pasif. Terapi aktif adalah terapi yang merangsang sistem imun untuk menghasilkan respons imun yang spesifik terhadap antigen tertentu. Terapi pasif adalah terapi yang memberikan sel-sel imun, molekul-molekul imun, atau antibodi yang telah diproduksi di luar tubuh.
Terapi imunomodulator dapat menjadi strategi baru untuk penyakit neurodegeneratif karena dapat menargetkan sel-sel imun atau molekul-molekul imun yang berperan dalam proses inflamasi dan neurodegenerasi. Beberapa contoh terapi imunomodulator yang sedang diteliti untuk penyakit neurodegeneratif adalah sebagai berikut:
- Vaksinasi terhadap protein abnormal. Vaksinasi adalah terapi aktif yang bertujuan untuk menginduksi respons imun adaptif terhadap protein abnormal, seperti amiloid beta atau tau pada AD, alfa-sinuklein pada PD, atau huntingtin pada HD. Vaksinasi dapat berupa vaksin DNA, vaksin peptida, vaksin sel dendritik, atau vaksin virus. Vaksinasi dapat meningkatkan produksi antibodi yang dapat mengikat protein abnormal dan membantu membersihkannya dari SSP. Namun, vaksinasi juga dapat menyebabkan efek samping seperti reaksi autoimun atau inflamasi berlebihan.
- Transfer sel Treg. Transfer sel Treg adalah terapi pasif yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan fungsi sel Treg di SSP. Sel Treg adalah subtipe sel T yang dapat menekan respons imun bawaan dan adaptif yang berlebihan dan mendorong perbaikan jaringan. Transfer sel Treg dapat dilakukan dengan cara mengisolasi sel Treg dari darah atau jaringan limfoid perifer, memperbanyaknya di luar tubuh, dan menyuntikkannya kembali ke tubuh. Transfer sel Treg dapat mengurangi inflamasi dan kerusakan jaringan di SSP.
- Penghambatan sitokin pro-inflamasi. Penghambatan sitokin pro-inflamasi adalah terapi pasif yang bertujuan untuk menghambat produksi atau aktivitas sitokin pro-inflamasi, seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin 1 beta (IL-1β), interleukin 6 (IL-6), atau interleukin 17 (IL-17). Sitokin pro-inflamasi adalah molekul-molekul yang dapat meningkatkan inflamasi dan kerusakan jaringan di SSP. Penghambatan sitokin pro-inflamasi dapat dilakukan dengan cara memberikan antibodi monoklonal, antagonis reseptor, atau inhibitor enzim yang dapat mengikat atau menghentikan sitokin pro-inflamasi.
- Stimulasi reseptor purinergik. Stimulasi reseptor purinergik adalah terapi aktif yang bertujuan untuk merangsang aktivitas reseptor purinergik, seperti P2X7 atau P2Y12, pada sel-sel imun bawaan di SSP. Reseptor purinergik adalah reseptor yang dapat mengenali adenosin trifosfat (ATP) sebagai sinyal bahaya dari sel saraf yang rusak. Stimulasi reseptor purinergik dapat meningkatkan fagositosis protein abnormal oleh mikroglia dan makrofag perivaskular.
Terapi imunomodulator memiliki potensi untuk menjadi strategi baru untuk penyakit neurodegeneratif. Namun, terapi imunomodulator juga memiliki tantangan dan risiko yang perlu diperhatikan. Beberapa tantangan dan risiko tersebut adalah sebagai berikut:
- Memilih target terapi yang tepat. Target terapi harus spesifik untuk penyakit neurodegeneratif tertentu dan tidak mengganggu fungsi normal sistem imun atau SSP. Target terapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, genetik, cedera otak, dan stadium penyakit yang dapat mempengaruhi respons imun dan neurodegenerasi.
- Menentukan dosis dan durasi terapi yang optimal. Dosis dan durasi terapi harus cukup untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Dosis dan durasi terapi juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dan dinamika penyakit.
- Mengatasi hambatan pengiriman terapi ke SSP. Pengiriman terapi ke SSP dapat terhambat oleh BDB atau BDL yang dapat mencegah masuknya sel-sel imun, molekul-molekul imun, atau antibodi ke SSP. Pengiriman terapi ke SSP juga dapat terhambat oleh distribusi heterogen sel-sel imun atau protein abnormal di SSP. Pengiriman terapi ke SSP dapat dilakukan dengan cara meningkatkan permeabilitas BDB atau BDL secara sementara, menargetkan reseptor spesifik pada sel-sel endotelial BDB atau BDL, atau menggunakan nanopartikel atau vektor viral sebagai pembawa terapi.
- Melakukan uji klinis yang valid dan reliabel. Uji klinis adalah tahap akhir dalam pengembangan terapi imunomodulator untuk penyakit neurodegeneratif. Uji klinis harus dilakukan dengan menggunakan desain studi yang sesuai, jumlah sampel yang cukup, kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas, parameter keluaran yang relevan, dan analisis statistik yang tepat. Uji klinis juga harus memenuhi standar etika dan hukum yang berlaku.
Kesimpulan
Penyakit neurodegeneratif adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan dan kematian sel saraf di SSP. Penyakit neurodegeneratif dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, genetik, dan cedera otak. Penyakit ini sering dikaitkan dengan penumpukan dan penyebaran protein abnormal di SSP.
Sistem imun berperan penting dalam penyakit neurodegeneratif. Sistem imun dapat berperan ganda dalam penyakit neurodegeneratif: di satu sisi, sistem imun dapat membantu membersihkan protein abnormal dan meredakan stres oksidatif; di sisi lain, sistem imun dapat memicu inflamasi kronis dan sitokin pro-inflamasi yang merugikan sel saraf yang masih sehat.
Cedera otak dapat menjadi faktor risiko atau pemicu untuk penyakit neurodegeneratif. Cedera otak dapat menyebabkan kerusakan mekanis, iskemia, edema, perdarahan, nekrosis, dan apoptosis pada sel saraf. Cedera otak juga dapat mengaktifkan sel-sel imun bawaan dan adaptif yang berusaha memperbaiki kerusakan jaringan. Namun, jika proses perbaikan tidak berlangsung dengan baik atau tidak terselesaikan dengan sempurna, maka dapat terjadi inflamasi persisten, gangguan BDB, penumpukan protein abnormal, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, dan kematian sel saraf yang lebih lanjut.
Terapi imunomodulator adalah terapi yang bertujuan untuk mengubah respons imun yang merugikan menjadi respons imun yang menguntungkan. Terapi imunomodulator dapat berupa terapi aktif atau pasif. Terapi imunomodulator memiliki potensi untuk menjadi strategi baru untuk penyakit neurodegeneratif. Namun, terapi imunomodulator juga memiliki tantangan dan risiko yang perlu diperhatikan.
Fisioterapis perlu memahami mekanisme dan dampak sistem imun pada penyakit neurodegeneratif untuk memberikan intervensi yang lebih tepat dan efektif untuk pasien dengan penyakit neurodegeneratif. Fisoterapis perlu memahami mekanisme dan dampak sistem imun pada penyakit neurodegeneratif untuk memberikan intervensi yang lebih tepat dan efektif untuk pasien dengan penyakit neurodegeneratif. Fisioterapis juga perlu mengikuti perkembangan penelitian terbaru tentang terapi imunomodulator untuk penyakit neurodegeneratif. Fisioterapis dapat berkontribusi dalam pengembangan dan pengujian terapi imunomodulator dengan cara berkolaborasi dengan peneliti, klinisi, dan pasien dari bidang lain.
Demikian artikel yang saya buat berdasarkan review paper "How the immune system shapes neurodegenerative diseases" dalam bahasa Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat bagi para fisioterapis dan pelayanan fisioterapi serta para akademisi di kampus fisioterapi. Terima kasih telah membaca artikel ini.
Rekomendasi bacaan:
- Mason, H.D., & McGavern, D.B. (2022). How the immune system shapes neurodegenerative diseases. Trends in Neurosciences, 45(10), 733-748. https://doi.org/10.1016/j.tins.2022.08.001
- Forman, M.S., Trojanowski, J.Q., & Lee, V.M. (2004). Neurodegenerative diseases: a decade of discoveries paves the way for therapeutic breakthroughs. Nature Medicine, 10(10), 1055-1063. https://doi.org/10.1038/nm1113
- Prinz, M., Priller, J., Sisodia, S.S., & Ransohoff, R.M. (2011). Heterogeneity of CNS myeloid cells and their roles in neurodegeneration. Nature Neuroscience, 14(10), 1227-1235. https://doi.org/10.1038/nn.2923
- Galea, I., Bechmann, I., & Perry, V.H. (2007). What is immune privilege (not)? Trends in Immunology, 28(1), 12-18. https://doi.org/10.1016/j.it.2006.11.004
- Ransohoff, R.M., & Engelhardt, B. (2012). The anatomical and cellular basis of immune surveillance in the central nervous system. Nature Reviews Immunology, 12(9), 623-635. https://doi.org/10.1038/nri3265
- Louveau, A., Smirnov, I., Keyes, T.J., Eccles, J.D., Rouhani, S.J., Peske, J.D., Derecki, N.C., Castle, D., Mandell, J.W., Lee, K.S., Harris, T.H., & Kipnis, J. (2015). Structural and functional features of central nervous system lymphatic vessels. Nature, 523(7560), 337-341. https://doi.org/10.1038/nature14432
Gabung dalam percakapan