Setiap cerita ada nilai historisnya dan akan menemukan relevansinya pada suatu ketika. Beberapa hari lalu saya menemukan artikel tentang lawatan Presiden Soeharto ke Bosnia Herzegovina. Barangkali saja masih menarik untuk disimak, kejadian saat Presiden Soeharto ke Bosnia. Saya mencoba untuk mengambil pelajaran tentang bagaimana seharusnya para pemimpin bersikap terhadap anggota yang dipimpinnya saat menghadapi pandemi COVID-19. Pimpinan apapun di level apapun.
![]() |
Foto : Pak Harto dan para pengawalnya |
Di tengah baku tembak antara Bosnia dan Serbia, itulah Presiden Soeharto berkunjung ke Balkan. Setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995, Presiden Soeharto pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina.
Tanda tangan kematian
Di bandara Internasional Zagreb telah menunggu pesawat buatan Rusia jenis JAK-40 dengan nomor penerbangan RA 81439. Pesawat kecil berkapasitas 24 kursi inilah yang dipersiapkan untuk mengangkut ‘kenekatan’ Soeharto, tanggal 13 Maret itu. Rombongan menuju ke lapangan udara. Di sinilah ketegangan mulai muncul. Ali Alatas tampak putih bagaikan kapas! Moerdiono menyipitkan matanya. Boleh saja mereka, ketika ditanya bagaimana perasaannya saat berangkat, menjawab. “Biasa-biasa saja”. Namun lain pula kenyataannya. Mereka pucat pasi!
Pemimpin yang percaya diri
Pak Harto duduk paling depan, berhadapan dengan Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden kolonel inf Sjafrie Sjamsoedin yang memang sudah berwajah tegang dari awal pagi. Sementara itu para pengantar di bawah tetap memandangi pesawat dengan perasaan seakan-akan baru saja mengantar para tentara yang akan berjuang dan harus menang.Pesawat buatan Rusia itu lepas landas pukul 11.10, dan tiba di Sarajevo pukul 12.36. “Selama di awan, kami sudah pasrah kok, ” ujar Moerdiono.
“Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto pada Sjafrie.
Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie ( Sjafrie Syamsudin ) pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.
Suasana mencekam. Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.
Saat konflik, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.
Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri para pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap.
Setelah mendarat, bukan berarti masalah selesai. Mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia. Sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan sniper di lembah itu.
Pak Harto naik panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB. Walau di dalam panser, bukan berarti mereka akan aman 100 persen dari terjangan peluru sniper. Tapi Presiden Soeharto santai-santai saja.
Hangatnya kunjungan dari sahabat
Akhirnya mereka sampai di Istana Presiden Bosnia Alija Lzetbegovic yang keadaannya sangat memprihatinkan. Saat makan siang berlangsung. “Terasa betul daging yang dihidangkan sudah lama disimpan di frisher. Lalu potongan kejunya… astaga… setipis potongan silet”. Sunggh menyedihkan.
Mengapa Pak Harto nekat berkunjung ke Bosnia ?
“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” jawab Pak Harto.
“Tapi resikonya sangat besar, Pak”, kata Sjafrie lagi.
“Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat”, kata Pak Harto.
Leave a Comment